Pengacara mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, atau yang lebih dikenal sebagai Tom Lembong, mengungkapkan bahwa penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) menanyakan detail terkait surat-menyurat yang berkaitan dengan izin impor gula selama pemeriksaan.
“Pak Tom diperlihatkan sejumlah surat, baik yang ia buat maupun yang ia terima. Ini termasuk surat yang ia kirimkan ke perusahaan-perusahaan BUMN,” ujar Ari Yusuf Amir, pengacara Lembong, di Gedung Kejaksaan Agung, Jumat malam, 1 November 2024. Pemeriksaan yang berlangsung selama 10 jam ini merupakan yang pertama setelah Lembong ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait izin impor gula.
Kasus ini bermula dari kebijakan Tom Lembong yang memberikan izin impor 105.000 ton gula kristal mentah kepada PT AP untuk diolah menjadi gula kristal putih, meski hasil rapat koordinasi antarkementerian pada Mei 2015 menyatakan bahwa stok gula nasional memadai sehingga impor tidak diperlukan.
Ari menambahkan, Lembong menerangkan bahwa surat-surat yang ia terima adalah tindak lanjut dari keputusan menteri sebelumnya, dan sebagian besar surat itu merujuk pada kebijakan yang telah ada. Sebagai pejabat yang melanjutkan tugas menteri sebelumnya, Lembong melibatkan staf-staf senior dalam menilai kelanjutan kebijakan yang didiskusikan.
“Pak Tom selalu berusaha memastikan bahwa setiap kebijakan dikeluarkan dengan prinsip tata kelola yang baik, termasuk pengelolaan administrasi,” tambah Ari. Menurutnya, sebagian besar pemeriksaan masih fokus pada surat-surat awal, dan belum membahas detail izin impor gula mentah yang diberikan oleh Lembong kepada PT AP.
Pemeriksaan hari itu berlangsung dari pukul 09.58 WIB hingga 20.27 WIB. Menyusul status tersangka, Kejagung juga menetapkan CS, Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), sebagai tersangka dalam kasus yang sama.
Kejaksaan menjelaskan bahwa pada Desember 2015, dalam rapat koordinasi bidang perekonomian, tercatat bahwa Indonesia diperkirakan kekurangan 200.000 ton gula kristal putih pada 2016. CS, yang saat itu menjabat di PT PPI, kemudian mengadakan pertemuan dengan delapan perusahaan gula swasta untuk menjalin kerja sama impor gula kristal mentah untuk diolah menjadi gula kristal putih.
Pada Januari 2016, Tom Lembong menandatangani surat penugasan kepada PT PPI untuk memenuhi stok gula dan menjaga stabilitas harga gula dalam negeri. Penugasan tersebut mencakup impor gula kristal mentah yang kemudian akan diolah bersama produsen dalam negeri hingga 300.000 ton.
Namun, menurut Kejaksaan, ketentuan sebenarnya mengharuskan impor gula kristal putih langsung oleh BUMN seperti PT PPI untuk stabilisasi harga gula. Dengan persetujuan Tom Lembong, delapan perusahaan swasta terlibat dalam pengolahan gula mentah, meski perusahaan-perusahaan tersebut hanya memiliki izin produksi gula rafinasi.
Gula kristal putih hasil produksi perusahaan swasta ini dijual melalui distributor dengan harga Rp16.000 per kilogram, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan Rp13.000 per kilogram. Selain itu, gula tersebut tidak didistribusikan melalui operasi pasar. Dalam skema ini, PT PPI menerima komisi Rp105 per kilogram dari setiap perusahaan yang terlibat, sementara keuntungan utama jatuh ke pihak swasta.
Perhitungan Kejaksaan Agung mengindikasikan bahwa negara mengalami kerugian senilai sekitar Rp400 miliar dari keuntungan yang diperoleh delapan perusahaan swasta yang seharusnya menjadi hak BUMN, yakni PT PPI.