MK Mengenai Ketenagakerjaan

Author Photoportalhukumid
02 Nov 2024
Pemandangan bagian depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari Jumat, 14 Juni 2019. Foto diambil oleh Bayu Septianto dari tirto.id.
Pemandangan bagian depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari Jumat, 14 Juni 2019. Foto diambil oleh Bayu Septianto dari tirto.id.

Mahkamah Konstitusi (MK) menilai bahwa pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu segera menyusun Undang-Undang Ketenagakerjaan baru yang berdiri sendiri, terpisah dari UU Cipta Kerja yang telah berlaku sejak 2023. Rekomendasi ini disampaikan oleh MK dalam sidang putusan uji materi UU Cipta Kerja dengan nomor perkara 168/PUU-XXI/2023 pada Kamis (31/10/2024). Salah satu pemohon uji materi ini adalah Partai Buruh.

MK menyatakan bahwa sudah saatnya pembuat undang-undang memisahkan regulasi ketenagakerjaan dari UU 6/2023. Sebelumnya, aturan ketenagakerjaan tercantum dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 dan kemudian diintegrasikan ke dalam UU Cipta Kerja.

Dalam pertimbangannya, MK menyebut bahwa UU Ketenagakerjaan telah beberapa kali diuji di MK, dengan total 37 kali perkara. Dari jumlah itu, MK mengabulkan 12 permohonan pengujian, baik seluruh maupun sebagian. MK mencatat bahwa banyak substansi dari UU Nomor 13 Tahun 2003 telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Karena substansi UU Ketenagakerjaan dalam UU 13/2003 sudah banyak yang diubah oleh putusan MK, menurut MK, UU ini tidak lagi utuh. Terlebih lagi, perubahan substansi ketenagakerjaan yang dimasukkan ke dalam UU Cipta Kerja hanya mencakup sebagian dari materi yang ada di UU 13/2003, sehingga terjadi potensi tumpang tindih dan ketidakharmonisan dalam kedua undang-undang tersebut. MK khawatir kondisi ini mengakibatkan aturan yang tidak sinkron antara kedua undang-undang.

Selain itu, MK juga menemukan bahwa beberapa peraturan pemerintah yang menjadi pelaksana dari UU Cipta Kerja dibuat tanpa delegasi langsung dari undang-undang tersebut, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Misalnya, peraturan terkait pembatasan hak dan kewajiban pekerja serta pemberi kerja seharusnya diatur melalui undang-undang, sesuai Pasal 28J ayat 2 UUD 1945, bukan diatur melalui peraturan pemerintah.

Berdasarkan fakta-fakta ini, MK menyimpulkan bahwa kesesuaian antara UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja perlu ditata ulang agar tidak mengancam kepastian hukum serta perlindungan hak-hak pekerja dan pengusaha. MK memperingatkan bahwa jika ketidakharmonisan ini dibiarkan, tata kelola ketenagakerjaan akan rentan terhadap ketidakpastian dan ketidakadilan.

MK meyakini bahwa UU Ketenagakerjaan yang baru, terpisah dari UU Cipta Kerja, akan memperjelas aturan-aturan ketenagakerjaan dan mengurai tumpang tindih yang ada. Dengan pemisahan ini, substansi ketenagakerjaan bisa lebih jelas dan mudah dipahami, sekaligus memungkinkan pengaturan yang lebih komprehensif di tingkat undang-undang, mencakup substansi UU 13/2003, UU 6/2023, serta mengakomodasi putusan MK terkait ketenagakerjaan.

MK memberi waktu dua tahun bagi pemerintah dan DPR untuk menyusun UU Ketenagakerjaan yang baru ini. Dalam penyusunannya, MK mendorong partisipasi aktif dari serikat pekerja dan serikat buruh untuk memastikan aturan tersebut mewakili kepentingan seluruh pihak yang terlibat.

Sumber:
https://news.detik.com/berita/d-7616671/mk-sarankan-ada-uu-ketenagakerjaan-baru-yang-terpisah-dari-uu-ciptaker

Artikel Terkait

Rekomendasi