Mulai Oktober 2024, pemerintah mewajibkan seluruh pelaku usaha untuk memiliki sertifikasi halal berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Kebijakan ini mensyaratkan bahwa produk yang beredar dan dijual di Indonesia wajib bersertifikat halal, dengan ancaman sanksi bagi yang tidak mematuhinya. Kepala BPJPH, Haikal Hassan, menyatakan bahwa peraturan ini harus diterapkan pada semua produk, termasuk makanan, minuman, kosmetik, fesyen, obat-obatan, dan barang olahan lainnya yang beredar di pasar Indonesia. Ia menegaskan bahwa bagi pelaku usaha yang belum mengurus sertifikasi halal hingga 18 Oktober 2024, sanksi berupa teguran tertulis, penarikan produk, hingga penutupan usaha akan diberlakukan.
Haikal juga mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam memastikan keberadaan produk halal dengan melaporkan produk tanpa sertifikasi halal yang masih beredar. Ia menekankan bahwa peraturan ini bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan produk halal di Indonesia demi kenyamanan masyarakat.
Namun, peraturan ini menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk mantan Menkopolhukam Mahfud MD. Melalui media sosialnya, Mahfud mempertanyakan kewajiban ini dan menganggapnya tidak realistis jika diterapkan pada semua produk. Ia menilai bahwa aturan ini dapat menghambat perdagangan di Indonesia, yang kaya dengan keberagaman produk, dan mempertanyakan apakah barang seperti buku dan laptop juga wajib tersertifikasi halal. Menurutnya, keragaman produk perlu dihormati, dan sertifikasi halal tidak mungkin diterapkan pada semua jenis barang yang diperjualbelikan di negara ini.
Kontroversi yang timbul dari pernyataan Haikal menambah deretan pejabat Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto yang menuai polemik. Sebelumnya, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto, serta Menteri HAM, Natalius Pigai, juga mendapat kritik setelah masing-masing terlibat dalam permasalahan penggunaan anggaran yang dianggap tidak peka pada situasi rakyat.